Layaknya sebatang pohon atau sebuah rumah yang membutuhkan akar yang kuat atau pondasi yang kokoh, seperti itulah fungsi aqidah yang mantap bagi ke-Islam-an kita.
Aqidah adalah keyakinan tentang sesuatu yang mele-kat mantap dalam jiwa kita, yang bersumber pada pengeta-huan yang membenarkannya. Keyakinan inilah yang menjadi motor penggerak emosi, akhlaq dan amal kita. Enam rukun iman, yang sudah kita hapal selama ini, merupakan dasar dari aqidah kita.
“Dari Umar Ibnul Khaththab r.a, bahwa Rasulullah bersabda: Iman itu ialah engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan kepadanya adanya hari akhir, dan beriman kepada qadar baik maupun buruknya.”(HR. Muslim, Abu Daud, at -Tirmidzi dan an-Nasai).
Iman yang pertama adalah iman kepada Allah. Untuk mengimani Allah dapat kita bagi menjadi beberapa tahap yaitu mengakui keberadaan Allah, mengenal Allah dan ketauhidan mengantar kepada mahabbatullah.
Walaupun penulis yakin bahwa para pembaca percaya akan adanya Allah, akan kami sampaikan dalil-dalil untuk me-ngenal adanya Allah, semoga dapat menguatkan aqidah kita. Ada 3 dalil pokok untuk membuktikan keberadaan Allah, yaitu:
- Dalil Al Qurán. Dalil ini merupakan dasar bagi dalil-dalil lainnya. Keber-adaan Allah tercanntum dalam firman-Nya: “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (Al Ikhlas:1-4).
- Dalil fithrah. Yaitu instink kemanusiaan yang membuat kita dapat ber-tahan hidup yang lebih kokoh dari ilmu dan kita miliki se-jak lahir. Fitrah ini muncul dari jiwa yang jernih dan hati yang lurus. Fitrah yang paling dasar adalah pengakuan a-danya Zat Allah Yang Maha Agung (Ar-Ruum:30). Fitrah ini dimiliki oleh semua manusia, bahkan orang yang me-ngaku atheis. Sejarah pernah membuktikan, Firáun pun menyeru kepada Allah ketika maut menjemput, seperti tercantum dalam firman Allah: ‘Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia.”(al-Israa’:67)
- Dalil akal.
Islam memerintahkan manusia untuk mencari hakikat ada-nya Allah dengan akalnya dalam mempelajari alam semes-ta (baca Al Baqarah: 164). Ada beberapa dalil akal yang dapat digunakan yaitu:
- Fenomena adanya alam semesta yang membutuhkan pencipta seperti firman Allah: “Apakah mereka dicip-takan tanpa sesuatupun, ataukah mereka mencip-takan (diri mereka sendiri).”(QS Ath Thuur:35)
- Fenomena keteraturan alam semesta, yang memerlu-kan Zat Yang Maha Tinggi untuk mnegaturnya (QS Al-Mulk :3)
- Hukum sababiyah, yaitu bahwa segala sesuatu di alam semesta ini memerlukan penyebab. Penyebab yang hakiki akan sampai pada Allah Yang maha Kuasa (QS An-Nur: 43-45)
Ada baiknya kita perhatikan kisah ini. Suatu hari, seo-rang nenek kagum melihat seorang yang diikuti banyak murid. Dia bertanya siapa beliau. Dijawab, “Dialah Fakhrur Razi, sang alim yang menguasai seribu dalil akan adanya Allah.”Dengan heran sang nenek berkomentar,”Seandainya ia tidak memiliki seribu keraguan tentunya ia tidak memerlukan seribu dalil…” Mendengar komentar itu Fakhrur Razi spontan ber-doa:”Ya Allah! Anugerahilah aku keyakinan seperti keyakinan sang nenek renta itu.” Semoga kita dianugerahi keyakinan yang demikian.
Mengenal Allah (Ma’rifatullah)
Cara yang paling mudah untuk dapat mengenal Allah adfalah melalui asmaul husna dan sifat-sifat wajib Allah. Kita mengetahui ada 99 asmaul husna. Dari nama-nama Allah ter-sebut maka nama yang paling dasar adalah Maha Sempurna (al-Jalil). Allah adalah Zat Yang Maha Sempurna kebesaran-Nya, kekuasaan-Nya, kehendak-Nya, ilmu-Nya, kebijaksanaan-Nya, kasih sayang-Nya dan kemuliaan-Nya.
Ke-Maha Sempurnaan Allah ini tidak mungkin ter-jangkau oleh akal pikiran manusia yang serba terbatas. Bah-kan 99 nama Allah tidaklah cukup untuk menggambarkan ke-Maha Sempurna-an Allah. Allah pun tidak membatasi nama-Nya, seperti dalam firman-Nya:
“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada Allah dengan menyebut asmaul husna itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”(QS Al-A’raf: 180)
Sedang sifat wajib Allah yang mendasar selain wujud (ada) adalah mukhalafatu lil hawadits (tak ada yang serupa dengan-Nya). Dari sifat ini diturunkan sifat wahdaniyah (esa), qidam (terdahulu), qudrah, iradah serta baqa’ (tak ada yang lebih akhir dari-Nya). Maka sesatlah orang yang menyamakan Allah dengan makhluk-Nya dengan mengatakan Allah serupa dengan manusia.
Ketauhidan mengantar kepada mahabbatullah
Tauhid merupakan dasar akidah kita kepada Allah, yang bersumber pada sifat wahdaniyah-Nya. Secara akal, ti-dak mungkin alam semesta ini diperintah olah lebih dari satu Zat Maha Agung. Tauhid kepada Allah, secara garis besar dibagi dua:
- Tauhid Rububiyah, yaitu hanya Allah pencipta dan pemelihara alam. “Demikian itu ialah Allah, Rabb kamu, tiada Rabb selain Dia, Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia, dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”(Al An’aam : 102). Pemeliharaan disini berarti termasuk pemberi rizki (Fathir : 3).
- Tauhid Uluhiyah,
yaitu hanya Allah yang berhak memerintah dan melarang (Fushshilat : 11), Dialah Ilah yang berhak membuat sya-riah dan menghukum (Al Qashash : 70). Hanya Dia yang berhak dituju dan disembah. “Sesungguhnya Aku ini adlah Allah, tidak ada Ilah (yang hak) selain Aku, maka sembah-lah aku dan dirikanlah sholat untuk mengingat Aku ” (Tha-haa : 14)
Setelah mengetahui hakikat tauhid, maka kita harus sadar bahwa hanya Allah yang harus kita cintai, melebihi segalanya (At Taubah : 24). Cinta ini menuntut pengorbanan kita, yang sekaligus menjadi konsekuensi dari ketauhidan kita kepada Allah. Alam semesta, termasuk manusia, adalah mahluk Allah dan milik-Nya, maka kita tidak mempunyai hak berbuat terhadap milik-Nya, kecuali sesuai dengan batas-batas dan izin-Nya.
Allah mempunyai hak mutlak untuk membuat syariat, berupa hukum dan ketetapan. Dalam hal ini, kita dilarang membuat hukum yang bertentangan dengan syariatnya yang sempurna.
“…barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir “. (Al Maidah : 44).
Jadi kita dan seluruh mahluk Allah tidak lepas dari kewajiban untuk tunduk, taat, dan beribadah hanya kepada-Nya. Ibadah ini adalah ibadah dalam arti luas, bahwa segala amal perbuatan harus kita niatkan sebagai ibadah. Dalam hal ini, amal perbuatan yang baik.
“(Orang orang yang berakal yaitu) orang orang yang mengingat Allah sambil berdiri atatu duduk atau dalam keadaan berbaring…” (Ali Imran : 191)
Cinta pada sesama manusia, jika diniatkan cinta karena Allah, maka cinta itu merupakan usaha kita untuk mencintai Allah dan mengharap ridla-Nya.
“Sesungguhnya (segala) amalan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatinya. Barangsiapa yang hijrah karena Allah dan rasul-Nya , maka ia akan mendapatkan Allah dan rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena keduniawian atau karena ingin menikah dengan seorang wanita (pria), maka sebatas itulah yang bakal dicapainya”
(HR Bukhori, Muslim, Abu Daud dan Tirmizi)
[Rustam Aji]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar